Oleh: Rati Alda Safari Kelas XI, SMA N 11 Malinau, Kalimantan Utara
Tak terasa hampir setahun sudah aku dan Ogie tak bersua. Jarak telah memisahkan kami dan memaksa kami untuk tak bisa bersua. Setiap kali kesempatan itu datang jam, menit, hingga detik akan sangat berharga bagiku. Tak akan kusia-siakan waktuku saat bersamanya. Aku sangat mencintai dia.
Matahari kian meninggi meski udara tetap dingin menusuk tulang rusukku. Aku bergegas ke sekolah tempat di mana aku menerima kesempatan untuk belajar setahun di Perancis. Orang lalu-lalang berjalan menyusuri jalanan kota. Ya, orang di Perancis tak seperti orang di Indonesia, negaraku sendiri. Jika di Indonesia orang-orang lebih memilih berkendaraan meskipun dekat, maka orang-orang Perancis lebih senang jalan kaki.
Kelas kuikuti dengan saksama. Aku bangga sekali memiliki kesempatan ini meskipun harus terpisah dengan keluarga dan orang yang kucintai. Seusai belajar aku duduk di bangku taman yang ada di sekitar sekolah. Handphone ku genggam dengan penuh harap Ogie akan menghubungiku. Sudah hampir seminggu dia tak menghubungiku. Rasa dalam dadaku seakan berkecamuk, serta prasangka-prasangka dalam labirin otakku pun semakin tak karuan. Aku khawatir terjadi apa-apa padanya. Aku pun teringat kabar dari kawanku Shinta beberapa hari yang lalu. Ia berkata bahwa Ogie pernah jalan dengan perempuan lain.
Pikiranku serasa begitu penat, aku memutuskan untuk mencari hiburan lain di kota Paris. Pesona Kota Paris memang begitu indah, sangking indahnya aku bermimpi jika suatu saat nanti aku bisa menjadi photografer dan ingin kuabadikan semua keindahan di sini. Letih berjalan mataku yang sedari tadi tak berhenti berkeliling pada sudut-sudut terindah kota Paris pun terhenti pada sebuah toko buku dengan gaya arsitektur klasik. Kakiku pun kulangkahkan menuju ke toko tersebut. Deretan buku berjajar rapi di rak. Aku tertuju pada sebuah rak buku yang berisi buku motivasi. Kutemukan sebuah buku dengan sampul warna hitam yang menarik perhatianku. Buku tersebut pun ku beli dengan harga 10 euro.
Tubuhku yang mungil merasa kaku, aku kembali ke apartemen yang disediakan untuk pelajar-pelajar Indonesia. Kurebahkan tubuhku di kasur. Tiba-tiba ponselku berdering. Ada pesan dari Ogie. “Maaf Rati, seharian ini aku sibuk,” kata Ogie. Rasa gundahku sedikit terobati.
Selama setahun ini aku sudah mengalami berbagai pengalaman luar biasa di negeri orang. Akhirnya aku pun mendapatkan kesempatan untuk kembali ke Indonesia untuk libur selama satu minggu. Hal itu akan kujadikan sebuah kejutan untuk orang yang kukasihi di Indonesia. Aku akan pulang ke Indonesia. Pagi pukul 09.00 waktu Perancis mengantarkanku menaiki sebuah pesawat Garuda Indonesia Airlines menuju Indonesia tepatnya di Surabaya. Perjalananku memakan waktu 1 hari. Aku pun tiba di kota Surabaya, rasanya tak mungkin aku langsung pulang ke Malinau Kalimantan Utara hari itu juga. Aku memutuskan untuk tinggal di hotel di Surabaya.
Aku terus menghubungi Ogie, orang yang begitu kurindukan namun dia masih saja dalam keanehannya. Nomor handphonenya selalu sibuk, sms pun tak kunjung ia balas. Keesokan harinya aku terbang ke Tarakan. Ogie sekarang tinggal di Tarakan, setibanya aku di Tarakan aku tak menghubungi Ogie namun aku menghubungi Jimmi kawan lamaku. Aku memintanya untuk mengantarkan ke rumah Ogie.
“Ti, Ogie tidak ada di rumah, sepertinya ia ke rumah Shinta,” kata Jimmi
“Shinta? Kenapa dia di rumah Shinta?” tanyaku setengah tak percaya. Hatiku sudah mulai sedikit curiga, tapi aku berusaha menepis kecurigaan itu.
“Kau belum tahu kalau Ogie sekarang tengah mendekati Shinta,” terang Jimmi. Jimmi memang tak tahu hubunganku dengan Ogie selama ini, aku pun berusaha tenang dihadapannya.
Shinta memang mantan pacar Ogie sebelum menjadi pacarku. Aku sendiri sadar bahwa Shinta masih menaruh rasa pada Ogie begitu juga Ogie. Ini memang salahku karena aku dulu berusaha meyakinkan Ogie untuk melupakan Shinta dan berpaling padaku. Rasa sedih dan kecewa menyelimuti isi hatiku.
“Kawan kita mau kemana?” tanya Jimmi mengagetkan lamunanku.
Aku pun mengajak Jimmi untuk mengantarkan ke rumah Shinta.
Jimmi menghentikan motornya di pinggir jalan depan rumah Shinta. Kedatangan kami pun tanpa sepengetahuan Shinta. Kata-kata Jimmi benar bahwa Ogie saat ini memang tengah berada di rumah Shinta. Terlihat Shinta menghampiri Ogie yang tengah duduk di atas motornya. Mereka berdua ternyata hendak pergi ke sebuah tempat. Aku meminta Jimmi untuk mengikuti keduanya. Hingga akhirnya mereka berhenti di tamah kota Tarakan.
Aku masih mengintip kedua cucu adam itu. Kakiku seakan ingin melangkah mendekati mereka namun, tanganku ditahan oleh Jimmi. Ia menyuruhku untuk menyaksikan semuanya terlebih dahulu. Air mataku tak mampu ku bendung.
“Kau menangis? Kau menyukai Ogie?” tanya Jimmi
“Iya, saat ini dia masih kekasihku Jim. Entah aku harus berbuat apa, namun keduanya terlihat saling mencintai, dan keduanya juga orang yang sama-sama kusayangi”.
Ogie terlihat mengeluarkan sebuah barang dari kantong celananya. Sebuah kotak berisi cincin dan memakaikan cincin itu ke tangan Shinta. Ogie melamar Shinta. Shinta mendekap Ogie dengan penuh bahagia.
Aku memberanikan diri menghampiri mereka dengan berlinangan air mata. Ogie mengangkap kedatanganku dan setengah kaget.
“Rati, kenapa kamu di sini? Kapan kamu pulang? Kok nggak ngabarin aku dulu,” tanya Ogie dengan raut muka pucat.
“Bukankah seharusnya aku yang bertanya kenapa kalian ada di sini, dan cincin itu. Apa maksud dari semua ini? Kalian telah membohongiku selama ini.”
“Rati, aku bisa jelaskan baik-baik,” sahut Shinta.
“Shinta kumohon kau diam, biarkan Ogie yang menjawab karena dia yang bertanggung-jawab atas semua ini,” pungkasku.
“Ti, maafkan aku. Seharusnya aku harus jujur sejak dulu meski itu menyakitkan. Aku sebenarnya tak bisa mencintaimu. Aku hanya kasihan sama kamu. Dulu kamu terlihat begitu tulus mencintaiku. Namun aku sadar bahwa yang kubutuhkan adalah Shinta bukan kamu,” terang Ogie.
Mendengar jawaban Ogie aku terdiam tak mampu berkata-kata, aku berusaha untuk ikhlas akan perasaan Ogie padaku selama ini. “Ogie aku memang tulus mencintaimu, namun jika bersama Shinta adalah yang terbaik, aku pun ikhlas demi kebahagiaan kalian berdua,” kataku. Aku tak kuasa melihat Ogie dan Shinta, aku pun berlari dan menarik tangan Jimmi mengajaknya pergi. Ia berusaha menghiburku akan tetapi rasa sakit itu begitu besar. Aku pun memutuskan untuk kembali ke Perancis secepat mungkin.
Sepanjang perjalananku ke Perancis aku tak henti memandangi foto Ogie sambil menangis. Aku akan menata hatiku kembali di Perancis untuk mengobati sakit hatiku pada Ogie. Aku berusaha menyibukkan diri dengan buku-buku. Teringat pada sebuah buku yang pernah kubeli. Di lembar terakhirnya bertuliskan “Jika ia memang jodohmu sesulit apapun jalannya ia akan tetap dipertemukan denganmu. Namun, jika ia bukanlah jodohmu sekuat apapun kamu mempertahankannya pasti akan perji juga”. Kata-kata itu sangat membekas di hatiku. Dan mulai saat itu aku belajar untuk menerima kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa Ogie lebih memilih Shinta. Dan aku yakin suatu saat nanti akan kutemukan pangeranku sendiri. Dialah pangeran yang akan membuat sejarah cinta bersamaku.
Aku mengambil secarik kertas dan kubuat perahu. Aku menyisipkan foto Ogie di sana. Aku meletakkan perahu itu di pantai dekat apartemenku dan membiarkannya mengikuti arus pantai, entah kemana ia akan berlayar atau akan hanyut. Sejak saat itu aku kembali mengingat keinginanku untuk menjadi photographer. Aku berjanji akan memulai kembali hidupku yang baru dengan mengabadikan momen-momen indah di Kota Paris. Meskipun tak ada kekasih dalam hidupku karena sendiri saat ini akan lebih baik.