Ku Ingin Kau Bahagia

Oleh: Rati Alda Safari Kelas XI, SMA N 11 Malinau, Kalimantan Utara

Tak terasa hampir setahun sudah aku dan Ogie tak bersua. Jarak telah memisahkan kami dan memaksa kami untuk tak bisa bersua. Setiap kali kesempatan itu datang jam, menit, hingga detik akan sangat berharga bagiku. Tak akan kusia-siakan waktuku saat bersamanya. Aku sangat mencintai dia.

Matahari kian meninggi meski udara tetap dingin menusuk tulang rusukku. Aku bergegas ke sekolah tempat di mana aku menerima kesempatan untuk belajar setahun di Perancis. Orang lalu-lalang berjalan menyusuri jalanan kota. Ya, orang di Perancis tak seperti orang di Indonesia, negaraku sendiri. Jika di Indonesia orang-orang lebih memilih berkendaraan meskipun dekat, maka orang-orang Perancis lebih senang jalan kaki.

Kelas kuikuti dengan saksama. Aku bangga sekali memiliki kesempatan ini meskipun harus terpisah dengan keluarga dan orang yang kucintai. Seusai belajar aku duduk di bangku taman yang ada di sekitar sekolah. Handphone ku genggam dengan penuh harap Ogie akan menghubungiku. Sudah hampir seminggu dia tak menghubungiku. Rasa dalam dadaku seakan berkecamuk, serta prasangka-prasangka dalam labirin otakku pun semakin tak karuan. Aku khawatir terjadi apa-apa padanya. Aku pun teringat kabar dari kawanku Shinta beberapa hari yang lalu. Ia berkata bahwa Ogie pernah jalan dengan perempuan lain.

Pikiranku serasa begitu penat, aku memutuskan untuk mencari hiburan lain di kota Paris. Pesona Kota Paris memang begitu indah, sangking indahnya aku bermimpi jika suatu saat nanti aku bisa menjadi photografer dan ingin kuabadikan semua keindahan di sini. Letih berjalan mataku yang sedari tadi tak berhenti berkeliling pada sudut-sudut terindah kota Paris pun terhenti pada sebuah toko buku dengan gaya arsitektur klasik. Kakiku pun kulangkahkan menuju ke toko tersebut. Deretan buku berjajar rapi di rak. Aku tertuju pada sebuah rak buku yang berisi buku motivasi. Kutemukan sebuah buku dengan sampul warna hitam yang menarik perhatianku. Buku tersebut pun ku beli dengan harga 10 euro.

Tubuhku yang mungil merasa kaku, aku kembali ke apartemen yang disediakan untuk pelajar-pelajar Indonesia. Kurebahkan tubuhku di kasur. Tiba-tiba ponselku berdering. Ada pesan dari Ogie. “Maaf Rati, seharian ini aku sibuk,” kata Ogie. Rasa gundahku sedikit terobati.

Selama setahun ini aku sudah mengalami berbagai pengalaman luar biasa di negeri orang. Akhirnya aku pun mendapatkan kesempatan untuk kembali ke Indonesia untuk libur selama satu minggu. Hal itu akan kujadikan sebuah kejutan untuk orang yang kukasihi di Indonesia. Aku akan pulang ke Indonesia. Pagi pukul 09.00 waktu Perancis mengantarkanku menaiki sebuah pesawat Garuda Indonesia Airlines menuju Indonesia tepatnya di Surabaya. Perjalananku memakan waktu 1 hari. Aku pun tiba di kota Surabaya, rasanya tak mungkin aku langsung pulang ke Malinau Kalimantan Utara hari itu juga. Aku memutuskan untuk tinggal di hotel di Surabaya.

Aku terus menghubungi Ogie, orang yang begitu kurindukan namun dia masih saja dalam keanehannya. Nomor handphonenya selalu sibuk, sms pun tak kunjung ia balas. Keesokan harinya aku terbang ke Tarakan. Ogie sekarang tinggal di Tarakan, setibanya aku di Tarakan aku tak menghubungi Ogie namun aku menghubungi Jimmi kawan lamaku. Aku memintanya untuk mengantarkan ke rumah Ogie.

“Ti, Ogie tidak ada di rumah, sepertinya ia ke rumah Shinta,” kata Jimmi

“Shinta? Kenapa dia di rumah Shinta?” tanyaku setengah tak percaya. Hatiku sudah mulai sedikit curiga, tapi aku berusaha menepis kecurigaan itu.

“Kau belum tahu kalau Ogie sekarang tengah mendekati Shinta,” terang Jimmi. Jimmi memang tak tahu hubunganku dengan Ogie selama ini, aku pun berusaha tenang dihadapannya.

Shinta memang mantan pacar Ogie sebelum menjadi pacarku. Aku sendiri sadar bahwa Shinta masih menaruh rasa pada Ogie begitu juga Ogie. Ini memang salahku karena aku dulu berusaha meyakinkan Ogie untuk melupakan Shinta dan berpaling padaku. Rasa sedih dan kecewa menyelimuti isi hatiku.

“Kawan kita mau kemana?” tanya Jimmi mengagetkan lamunanku.

Aku pun mengajak Jimmi untuk mengantarkan ke rumah Shinta.

Jimmi menghentikan motornya di pinggir jalan depan rumah Shinta. Kedatangan kami pun tanpa sepengetahuan Shinta. Kata-kata Jimmi benar bahwa Ogie saat ini memang tengah berada di rumah Shinta. Terlihat Shinta menghampiri Ogie yang tengah duduk di atas motornya. Mereka berdua ternyata hendak pergi ke sebuah tempat. Aku meminta Jimmi untuk mengikuti keduanya. Hingga akhirnya mereka berhenti di tamah kota Tarakan.

Aku masih mengintip kedua cucu adam itu. Kakiku seakan ingin melangkah mendekati mereka namun, tanganku ditahan oleh Jimmi. Ia menyuruhku untuk menyaksikan semuanya terlebih dahulu. Air mataku tak mampu ku bendung.

“Kau menangis? Kau menyukai Ogie?” tanya Jimmi

“Iya, saat ini dia masih kekasihku Jim. Entah aku harus berbuat apa, namun keduanya terlihat saling mencintai, dan keduanya juga orang yang sama-sama kusayangi”.

Ogie terlihat mengeluarkan sebuah barang dari kantong celananya. Sebuah kotak berisi cincin dan memakaikan cincin itu ke tangan Shinta. Ogie melamar Shinta. Shinta mendekap Ogie dengan penuh bahagia.

Aku memberanikan diri menghampiri mereka dengan berlinangan air mata. Ogie mengangkap kedatanganku dan setengah kaget.

“Rati, kenapa kamu di sini? Kapan kamu pulang? Kok nggak ngabarin aku dulu,” tanya Ogie dengan raut muka pucat.

“Bukankah seharusnya aku yang bertanya kenapa kalian ada di sini, dan cincin itu. Apa maksud dari semua ini? Kalian telah membohongiku selama ini.”

“Rati, aku bisa jelaskan baik-baik,” sahut Shinta.

“Shinta kumohon kau diam, biarkan Ogie yang menjawab karena dia yang bertanggung-jawab atas semua ini,” pungkasku.

“Ti, maafkan aku. Seharusnya aku harus jujur sejak dulu meski itu menyakitkan. Aku sebenarnya tak bisa mencintaimu. Aku hanya kasihan sama kamu. Dulu kamu terlihat begitu tulus mencintaiku. Namun aku sadar bahwa yang kubutuhkan adalah Shinta bukan kamu,” terang Ogie.

Mendengar jawaban Ogie aku terdiam tak mampu berkata-kata, aku berusaha untuk ikhlas akan perasaan Ogie padaku selama ini. “Ogie aku memang tulus mencintaimu, namun jika bersama Shinta adalah yang terbaik, aku pun ikhlas demi kebahagiaan kalian berdua,” kataku. Aku tak kuasa melihat Ogie dan Shinta, aku pun berlari dan menarik tangan Jimmi mengajaknya pergi. Ia berusaha menghiburku akan tetapi rasa sakit itu begitu besar. Aku pun memutuskan untuk kembali ke Perancis secepat mungkin.

Sepanjang perjalananku ke Perancis aku tak henti memandangi foto Ogie sambil menangis. Aku akan menata hatiku kembali di Perancis untuk mengobati sakit hatiku pada Ogie. Aku berusaha menyibukkan diri dengan buku-buku. Teringat pada sebuah buku yang pernah kubeli. Di lembar terakhirnya bertuliskan “Jika ia memang jodohmu sesulit apapun jalannya ia akan tetap dipertemukan denganmu. Namun, jika ia bukanlah jodohmu sekuat apapun kamu mempertahankannya pasti akan perji juga”. Kata-kata itu sangat membekas di hatiku. Dan mulai saat itu aku belajar untuk menerima kenyataan yang ada. Kenyataan bahwa Ogie lebih memilih Shinta. Dan aku yakin suatu saat nanti akan kutemukan pangeranku sendiri. Dialah pangeran yang akan membuat sejarah cinta bersamaku.

Aku mengambil secarik kertas dan kubuat perahu. Aku menyisipkan foto Ogie di sana. Aku meletakkan perahu itu di pantai dekat apartemenku dan membiarkannya mengikuti arus pantai, entah kemana ia akan berlayar atau akan hanyut. Sejak saat itu aku kembali mengingat keinginanku untuk menjadi photographer. Aku berjanji akan memulai kembali hidupku yang baru dengan mengabadikan momen-momen indah di Kota Paris. Meskipun tak ada kekasih dalam hidupku karena sendiri saat ini akan lebih baik.

Perjuanganku Untuk Sebuah Pencapaian

Oleh: Arlena

Kelas XI, SMA Negeri 11 Malinau

 

Di saat pagi-pagi aku meihat dan memandang akan indahnya pagi ini, menatap gunung-gunung yang beragam bentuk keindahan. Aku berfikir tentang kehidupan ini, dan hal itu pun membuat aku teringat pada waktu aku mencoba sesuatu yang selalu membuat aku frustasi akan cobaan itu.

Di saat Tuhan menguji kemampuanku, pada saat itu aku tidak pernah berfikir bahwa itu akan berhasil atau gagal. Pada saat aku mencoba menjadi pribadi yang selalu tegar dan tidak gampang frustasi. Hari itu hari yang sangat meyedihkan bagiku namun selalu ada sahabat-sahabat yang selalu menyemangati. Ia adalah Debby. Dia yang selalu memotivasi aku agar jangan gegabah melakukan suatu  pekerjaan yang patut aku selesaikan.

Malam hari aku sempat berpikir dan bertanya dalam hati, “bagaimana jika aku mencoba lagi dan berkonsultasi dengan Pak Hardana.” Sebelum itu aku pun berkonsultasi dengan saudara-saudara dan menceritakan dua kali kegagalan yang pernah aku alami selama mengikuti seleksi sebagai mahasiswa pascasarjana kedokteran spesialis paru-paru. Aku ingat betul pesan Debby agar bisa melanjutkan perjuanganku. “Jangan frustasi lagi akan kegagalan-kegagalan yang telah terjadi, teruslah melangkah dan jangan menjadi bodoh. Dengan kamu diam seperti ini akan membuat percaya dirimu semakin luntur. Kamu harus mencoba lagi dan tetaplah bersemangant,” ujar Debby waktu itu.

***

Keesokan paginya aku mendatangi pak Hardana, salah satu dosen yang dulu menjadi pendamping skripsi di Universitas Mulawarman.

“Kamu masih berminat mendalami spesialis paru-paru?” tanya pak Hardana.

“Masih Pak. Tetapi saya sudah mengalami dua kali kegagalan dalam mengikuti tes. Tapi minat itu masih begitu besar dalam diri saya,” jawabku.

Pak Hardana pun memberikan kabar gembira bahwa aku masih diberi kesempatan untuk mengikuti tes lagi. Aku begitu gembir mendengar kabar tersebut. Tak akan kusia-siakan kesempatan ini. Kali ini aku lebih mempersiapkan diri agar usaha yang ketiga kali ini berhasil.

Menjadi dokter spesialis paru-paru adalah cita-citaku sejak kecil. Pengalaman pahit yang pernah aku alami dululah yang mendorong cita-citaku ini. Kakak saya pernah mengalami penyakit paru-paru sampai tak bisa tertolong. Tak ada yang mampu menolong, tak ada dokter yang spesialis menangani paru-paru di pedalaman Malinau ini.

***

Hari pun terus berlalu

Tanggal yang ditentukan pun tiba. Aku berangkat untuk mengikuti tes di Universitas Indonesia di pusat negara Republik Indonesia, Jakarta. Doa tak pernah lupa kupanjatkan agar Tuhan memberikan kemudahan agar pula aku tidak mendapat kegagalan lagi.

Di saat aku mengikuti tes itu hati serasa akan copot. Sainganku nampak begitu kuat. Mereka berpenampilan keren. Di antara mereka ada beberapa lulusan dari universitas luar negeri. Banyak pula di antara mereka yang sudah bekerja menjadi dokter di rumah sakit.

Lembar tes dibagikan ke masing-masing peserta, aku pun menerima berlembar-lembar kertas berisi pertanyaan-pertanyaan. Baik tes psikologis, tes akademik hingga tes yang berisi kecakapan diri. Kali ini aku tak ingin tergesa-gesa menjawab setiap pertanyaan yang ada. Semua hasilnya nanti aku pasrahkan kepada Tuhan dan tim penyeleksi.

Seminggu berselang setelah tes aku ikuti, akhirnya jadwal pengumuman yang ditentukan oleh panitia tiba. Dalam hati aku terus berdoa dan berdoa. Pengumuman akan dilakukan langsung oleh ketua jurusan di Jakarta. Aku pun yang berasal dari rantau berangkat lagi ke kampus UI.

Aku kembali dipertemukan dengan peserta-peserta tangguh yang berasal dari berbagai pelosok negeri. Lalaki tua mengenakan jas putih keluar dari ruangan. Ia memanggil namaku, Arlena. Aku pun ikut masuk ke ruangan yang banyak sekali peralatan kedokteran dan beberapa tumpukkan kertas putih. Kali ini jantungku seakan berhenti beberapa detik. Namun kutarik nafasku dalam-dalam agar aku lebih tenang. Aku pun duduk di hadapan lelaki tua itu. Ia mengenalkan dirinya sebagai Profesor Abraham. Ketua Jurusan Pascasarjana Kedoketeran. Dia juga salah satu guru besar spesialis paru-paru.

Betapa gembiranya aku, aku hanya mampu terperangah mendengar ia menjelaskan tentang dirinya. Ia memberikan sebuah kertas. Sebuah kertas piagam. Ia berkata secara singkat, “Selamat bergabung dan menjadi salah satu calon dokter spesialis paru-paru.”

Senyum sumringah menyimpul  dari bibirku. Aku tak lupa berterima kasih kepada Tuhan dan kepada Prof. Abraham. Aku begitu bahagia karena perjuanganku selama ini tidaklah sia-sia.

Setelah mendengar kabar bahagia itu, aku menemui salah satu temanku bernama Alvin. Dia adalah teman yang kukenal sejak tes. Dia begitu baik, dan terlihat begitu cerdas.

“Alvin, bagaimana hasilnya?” tanyaku tanpa bisa menutupi raut mukaku yang tengah bahagia.

“Selamat ya Lena, kali ini aku akan menunda dulu cita-citaku,” jawab Alvin dengan muka yang suram.

Aku pun berusaha menenangkannya sebagaimana Debby kawanku dulu menenangkanku “Sudahlah kamu jangan sedih, masih ada kesempatan lagi untuk mencoba, aku yakin itu seperti aku dulu yang berkali-kali mengalami kegagalan namun tak berhenti mencoba.”

Meskipun suatu perjuangan itu akan memakan waktu lama, asalkan bersabar, dan tidak cepat putus asa pasti akan ada kemudahan. Begitu banyak orang yang bersabar akhirnya tercapai juga apa yang diangan-angankan. Seperti pepatah “pantaslah bagi si pengetuk pintu, jika ia terus-menerus melakukan lama-lama akan dapat masuk rumah juga”.

Korean Style ada di Malinau

Pusatkan perhatian pada gadis berpayung biru itu. Cantik layaknya orang korea
Namanya Doni. Masih 13 tahun tapi ketampanannya tak boleh diragukan

Pernahkah kalian melihat artis-artis korea di stasiun televisi atau boyband/girlband yang berliak-liuk menampilkan tubuh-tubuh mereka yang mulus nan seksi. Seperti merekalah gambaran masyarakat di Malinau. Perawan-perawan di sini cantik, putih, seksi, dan bermata sipit. Begitu pula dengan para bujangnya, tampan, putih, dan gagah.

Perjalanan sejarah membuat mereka memiliki bentuk fisik semacam itu. Sekitar abad ketujuh orang Tionghoa mulai menetap di Kalimantan tetapi mereka tatap bercorak Cina dan hubungan dengan negeri leluhur mereka selalu dipelihara. Pada tahun 1745 gelombang besar masyarakat Tionghoa datang untuk membuka tambang-tambang emas di Kalimantan. Banyak diantara mereka menikahi orang-orang yang tinggal di Kalimantan sehingga membuat keturunan. Semakin lama koloni mereka semakin berkembang dan menjadi penduduk tetap di Kalimantan. Ini pula yang sekiranya terjadi di Malinau. Tidak ada sejarah pasti tentang penduduk asli Kalimantan. Hanya saja ketika saya pertama kali menginjakan kaki di pulau terluas di Indonesia ini, banyak sekali orang-orang bermata sipit layaknya orang-orang Cina.

Kebudayaan orang kalimantan pun tidak seprimitif yang saya bayangkan. Mereka sudah berteman akrab dengan teknologi, gedget. Bahkan penampilan mereka pun tidak seperti orang-orang pedalaman pada umumnya. Jika di Jawa kita banyak melihat para remaja menggunakan hotpen dengan percaya dirinya di jalanan, sama halnya dengan di sini. Bahkan, ibu rumah tangga baik janda atau pun bersuami mereka menggunakan celana ketat yang berada 10 cm lebih di atas lutut. Ini sudah mirip dengan budaya-budaya korea yang hampir tiap hari muncul di layar televisi. Awal saya tiba di Malinau teman-teman yang sebelumnya mengikuti program serupa telah memberitahu bahwa di Malinau adalah gudangnya wanita canti nan seksi dan pria tampan dan gagah. “Hati-hati kalau nanti kecantol dengan pemuda sini” itulah peringatan dari salah seorang teman. Saya sendiri telah membutkikan dan setengah tidak percaya melihat mereka menghuni daerah 3T, bahkan mereka lebih pas jika tinggal di kota daripada orang kota sekarang ini. Fisik mereka sangat mendukung. Mereka putih, cantik-cantik dan tampan-tampan. Tidak seperti kebanyakan masyarakat kota sekarang yang kecantikannya adalah hasil sulapan dari sebuah produk kecantikan (tidak alami). Kecantikan dan ketampanan masyarakat di sini masih lebih bagus karena mereka tetap mau dan tak sungkan untuk bekerja membantu orang tua.

Satu bulan sudah saya berada di Malinau tepatnya di pedalaman kecamatan Mentarang Hulu, desa Long Berang. Selama ini saya baru menyadari bahwa ternyata kebudayaan mereka ini berubah dengan sangat cepat. Artinya jika ada kebudayaan baru masuk, mereka akan sangat cepat menyesuaikan. Contohnya seperti yang saya sebutkan di atas bahwa wanita baik tua maupun muda cenderung lebih suka menirukan gaya-gaya layaknya artis Korea dibanding dengan budaya sendiri. Masuknya budaya asing sepertinya ditelan mentah-mentah tanpa ada penyaringan. Bahkan hal tersebut mampu mengikis kebudayaan warisan nenek moyang yang mestinya tetap dilestarikan.

Tidak hanya masalah penampilan fisik mereka. Hukum adat yang sudah berpuluh-puluh tahun dibuat pun semakin lama tergadaikan oleh budaya asing yang masuk ke tanah adat mereka.

Saya kira ada hukum jual beli dalam kebudayaan mereka, bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan di Malinau, maka semakin pudar kebudayaan meraka. Ini baru hipotesis awal, perlu dilakukan penelitian di sini. Setidaknya penelitian itu akan membawa kita pada sebuah kesadaran akan pentingnya menjaga budaya khususnya Dayak di Indonesia. Sehingga, kita tidak akan menyesal sebelum kita hanya bisa menyaksikan kebudayaan-kebudayaan yang sarat makna itu terpampang di museum atau perpustakaan.

Siap!!!!!!

“Kemana kakiku melangkah itulah kemana masa depanku dan tanggung jawabku kupertaruhkan”

Pagi itu jam masih menunjukan pukul 03.30 WIB tanggal 17 September 2013, aku tak bisa memejamkan mata meski sebentar. Hatiku masih kacau karena hendak meninggalkan keluarga dan tunangan. Namun aku harus memilih, dengan perasaan sesak di dada aku pun harus mengangkut barang-barang di koper dan dua tas gendongku untuk menuju ke tempat pengabidan. Keluarga mengantarkan keberangkatanku hingga universitas. Suasana begitu haru ditambah awan yang sedikit mendung. Jarum jam baru menunjukkan pukul 05.30 WIB, matahari pun belum menampakkan kemegahannya.
Upacara pelepasan menjadi pertanda bahwa kami benar-benar dilepas untuk mengabdi ke sebuah daerah antah brantah. Aku katakan demikian karena tempat itu masih terlalu abstrak dalam benakku. Malinau. Sebuah kabupaten di provinsi yang baru dimekarkan tahun 2010. Kabupaten yang menjadi garda terdepan bumi Indonesia. Ya, di sinilah harga diri negara Indonesia dipertaruhkan. Harga diri? Makanan macam apa itu, aku rasa harga diri Indonesia benar-benar sudah di ujung tanduk. Betapa tidak? Tapal batas yang seharusnya dapat menarik perhatian warga negara asing untk mengunjungi Indonesia ternyata tidak sesuai dengan semestinya. Kabupaten Malinau di tapal batas ternyata dikategorikan menjadi daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). “Malang sekali nasib masyarakat di sana”, pikirku. Mereka harus memikul tanggung jawab besar karena harus menjaga daerah perbatasan namun nasib mereka lebih banyak ditopang oleh negara tetangga. Di mana perhatian pemerintah selama ini.
Pengabdian di Malinau kujadikan sekecil berkas untuk membantu fungsi negara dalam mencapai tujuan yakni “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Sudah sejak disahkan tanggal 18 Agustus 1945, tujuan negara itu tetap masih bertengger di pembukaan UUD 1945 alinea ke IV. Tetapi apa yang terjadi, tujuan tersebut belum juga teralisasikan. Mungkin waktu 68 tahun masih terlalu singkat untuk mencapai tujuan itu. Padahal, 68 tahun adalah rata-rata usia manusia di Indonesia. Dengan perumpamaan jika seorang warga lahir pada tanggal 18 Agustus 1945, mungkin dia sudah meninggal tanpa melihat tujuan negaranya tercapai.
Alasan itu pula yang membuatku semakin mantap untuk terbang ke bumi antah brantah di Malinau. Meski isak tangis membanjiri pipi, ayah dan ibuku menguatkanku seolah mereka memberi keyakinan bahwa “Kau harus pulang membawa kemenangan nak! Ini bukan hanya tanggung jawab negara, tapi tanggung jawab semua bangsa terlebih kau diciptakan untuk menjadi seorang guru.” Siap!!!! Empat huruf itulah yang harus ditanamkan baik-baik dalam hati sebelum berhenti ditengah jalan.

Gambaran geografis Kabupaten Malinau disorot dari udara

Bandara Adisucipto…
Penerbangan ke Malinau membutuhkan rute panjang. Pesawat Garuda akan mengangkutku bersama teman-teman lainnya tepat pada pukul 09.50 WIB. Rombongan keluargaku pun sudah meninggalkan bandara tanpa melihat aku masuk ke dalam perut burung raksasa kebanggaan Indonesia itu. Ahh, rasanya dadaku semakin sesak, nafasku serasa kian pendek. “Siap, siap!!”, aku berusaha meyakinkan diri sendiri. Perasaan yang aku rasa mungkin sama dengan perasaan 203 peserta SM3T lainnya. Ini bukan berlebihan karena kami akan meninggalkan keluarga selama 1 tahun tanpa bisa pulang. Kami akan melewatkan banyak momen yang seharusnya bisa mengumpulkan keluarga besar seperti Idul Fitri, Idul Adha, hajatan, dan lain sebagainya. Belum lagi jika kami menemui daerah tanpa ada jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, kekurangan sumber air. SIAP, SIAP!!!! Kami siap memenuhi janji konsitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, apalah arti kita bahagia jika bangsa kita masih banyak yang terbelenggu oleh kebodohan.

SAM_7622
Perjalanan menggunakan moda transportasi andalan “Long Boat”. Perjalanan selama 6 jam dari pusat kota Malinau ke Long Berang

Tujuanku datang ke daerah antah brantah ini tidak muluk-muluk, tak mungkin dalam waktu satu tahun aku dan teman-teman mampu menciptakan makhluk-makhluk cerdas. Negara saja yang sudah menghabiskan waktu 68 tahun belum mampu apalagi kami yang hanya satu tahun. Kecil memang tujuan kami datang. “Tujuan kami hanyalah untuk memberikan inspirasi, pemahaman bahwa belajar merupakan sesuatu yang penting, tak ada yang sia-sia jika kita belajar. Belajar dari segala hal yang bisa dipelajari”. Dan bagiku sebagai peserta SM-3T pun yakin bahwa mengikuti program ini bukanlah sesuatu yang sia-sia karena aku akan belajar banyak hal di daerah yang menempatkanku sebagai kaum minoritas.

Dwiningsih Afriati

Cinta Kita

Maaf kan aku cinta jika kau terlalu lama menanti

Sungguh cintaku tak ada yang lain kecuali dirimu

Kaulah pelabuhan terakhir, samudra terindah yang akan kuarungi

Kau kasih terindah yang pernah kumiliki

Meski raga ini jauh darimu

Yakinlah aku akan kembali, kembali untuk memelukmu hangat dengan cintaku

Nafas ini akan berhenti jika kau bunuh aku dengan penghianatanmu

Aku pun selalu berusaha untuk menjaga kehormatan cinta kita

Aku dan hanya aku yang bisa membuatmu bahagia

 

 

by 2n_@fRee

 

Guruku, Terima Kasihku

 

Pagiku cerahku matahari bersinar

Ku gendong tas merahku, di pundak

Slamat pagi semua, kunantikan dirimu di depan kelasmu

Menantikan kami

Guruku tersayang, guru tercinta, tanpamu apa jadinya aku

Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal

Guruku terima kasihku

 

Nakalnya diriku kadang buatmu marah,

Namun segala maaf kau berikan

Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal

Guruku terima kasihku

 

Hari ini, 6 Juli. aku begitu merindukan guru-guruku. Entah mengapa. Aku merasa lirik lagu di atas begitu menyayat hati jika diresapi. Guru adalah orang tua kedua untuk murid-muridnya. Terkadang banyak hal yang menjengkelkan dari guru, misalnya ketika kita ketahuan nyontek, kita yang marah. Guru sering membawa masalah keluarga dari rumah ke sekolah, kita sering tidak menerimanya. Tugas yang menumpuk terlalu banyak, kita sering mengeluh. Soal ulangan yang sulit, kita teriak.

Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku merindukan guru-guruku. Kasih sayangmu sungguh terlalu besar untukku. Mungkin tidak ada perlakuan istimewa untukku tapi sungguh kalian terlalu istimewa untukku. Guru-guruku yang paling mengesankan bagiku.

Tahun 1997 di usia empat tahun aku masuk ke Sekolah Dasar. Di tingkat paling dasar ada ibu yang begitu mengesankan. Ia adalah Ibu Marsini. Ibu, kala itu kau menjabat sebagai kepala sekolah SDN 1 Karangjoho. Engkau dengan usia yang tua, membimbingku yang kala itu masih balita untuk berlatih membaca di kelas 1. Kau juga sabar menunda pelajaran dengan menungguku diimunisasi setiap tanggal 7. Waktu itu ada catur wulan pertama, kau bilang kepada ibuku, masa itu sebagai masa uji coba untukku. Tapi ternyata aku lancar membaca, sehingga kau mengijinkanku melanjutkan sekolah. Catur wulan kedua angka 10 kau berikan sebagai angka peringkatku. Betapa girangnya diriku. Catur wulan ketiga kau berikan satu angka yaitu angka 7 untuk peringkatku dan ditambah bonus aku bisa naik ke kelas 2. Berkat engkau aku bisa ganti sepatu. Aku ingat betul sepatu kets putih sebagai hadiah dari ibuku karena naik kelas.

Kelas dua kumasuki. Menggendong tas hitam dengan dilengkapi buku Sinar Dunia bersampul biru dan pensil, aku tiap hari berangkat ke sekolah. Kenanganku di kelas dua ini adalah ada seorang guru yang penuh kesabaran mengajariku menyanyi namanya Ibu Yanti. Lagu itu adalah lihat kebunku dan kupu-kupu. Hingga kini aku ingat betul lagu itu. Saat kau menuding dengan sebilah bambu ke papan tulis, menuntun kami anak-anak kecil itu bernyanyi. Hal lain yang juga ku ingat adalah ketika kau terbata untuk mengeja huruf-huruf arab di papan tulis. Teman-teman mengatakan kalau kau ini seorang mualaf. Tapi entahlah benar atau tidak. Tiga catur wulan kau memasukkanku kedalam empat besar meski hanya ranking 3 atau 4 tapi itu cukup untuk mengantarkanku masuk ke kelas 3.

Hari-hari kelas 3 ku ditemani oleh seorang guru laki-laki dengan perawakan tinggi dan berkulit hitam. Dia adalah Pak Kimin. Guru ini terkenal galak, hampir setiap hari ada yang dimarahi oleh guru ini. Pengalaman lucu dan mungkin memalukan tapi tidak akan aku lupakan adalah ketika pak Kimin tengah marah dan membanting meja temanku yang bernama Efi. Efi duduk didepanku persis. Kami tidak tahu apa kesalahan kami sehingga guru ini marah. Tapi yang jelas, akibat tindakannya ini aku melakukan hal yang menggelikan di kelas dan tak bisa kusebutkan itu. Sungguh ini tak tertahankan. Waktu itu bertepatan juga dengan ulangan. Yang aku tahu, aku takut untuk meminta ijin keluar ketika si bapak tengah marah. Kenakalanku di kelas 3 mulai muncul, aku pernah bertengkar hingga jambak-jambakkan rambut hebat dengan Sutriyani di dalam kelas. Entah mengapa aku sangat membenci dia. Dia anak pindahan dari SD karangtengah. Dia sering mengadu domba pertemanan antara aku, Yuni, Efi dan Esti. Bagiku, dia yang menyebabkan kami membuat kubu, yakni kubu aku dengan Esti yang selalu bertengkar dengan kubu Efi dan Yuni. Tapi kami mengingat bahwa DILARANG BERTENGKAR LEBIH DARI TIGA HARI. Akhirnya kami pun sering bertengkar, tetapi cepat juga berdamai. Inilah kisahku sampai di kelas 3.

Kelas 4, waktu belajar di sekolah diisi dengan pemberian materi oleh guru yang cantik. Ibu Endah. Dia adalah ibu dari kawanku Didi (si jangkung). Ibu yang satu ini sangat lembut ketika berbicara. Meskipun ada anaknya diantara aku dan kawan-kawan, aku merasa dia tidak pilih kasih. Beliau pernah mengajariku untuk belajar puisi, kala itu aku mewakili SDN Karang Joho untuk lomba puisi. Memang tak ada hasil yang memuaskan disana. Tapi ini menjadi pengalaman yang berharga untukku. Masa pelajaran yang paling kuingat adalah ketika pelajaran IPA, kau membawakan kerangka tengkorak manusia. Kau menunjukkan bagian-bagian tubuh manusia. Mengerikan. Tapi terima kasih ibu. Ilmu yang kau berikan sangat berharga. Satu hal lagi adalah ketika kau mengatur kami untuk duduk berpasang-pasangan laki-laki perempuan. Kau memasangkanku dengan Kasno. Anak yang tiap hari kumarah-marahi karena sering mencontek dan (maaf) kurang pintar. Sering kata kasar [goblok] keluar dari mulutku. Betapa kasarnya kata-kataku kala itu. Lepas dari Ibu Endah, kami diberikan kepada suamimu pak Misdi untuk mengajari kami di kelas 5.

Di kelas 5 ini kau mengatur tempat duduk kami antara putri dengan putra. Kau memasangkanku dengan Harun Sulistyo. Tidak jauh berbeda dengan Kasno, bagiku Harun juga kurang pandai dalam pelajaran. Aku sering membenci anak-anak yang kurang pintar tetapi malas belajar (hingga sekarang pun rasa seperti ini masih ada). Aku menganggap untuk apa buang-buang uang buat jajan kalau di sekolah juga tidak belajar. Bukan aku sombong tetapi sikap tega di diriku memang ada sejak kecil. Pak Misdi adalah guru yang paling pintar di SDN Karangjoho menurutku. Dia bapak dari Didi anak tercerdas di angkatanku. Pak Misdi pandai di segala bidang, seni, musik, macapat, pelajaran. Bagiku, engkau guru sempurna yang kutemui. Kau yang mengajariku bagaimana mencangkok tanaman, bagaimana merangkai rangkaian paralel dan seri. Bagaimana menarik ulur magnet. Bagaimana menciptakan magnet dengan menggosok-gosokkan magnet pada besi. Pernah kau menegurku di kelas karena aku berisik dan menunjuk-nujukkan jempol ke anak yang duduk di belakangku. Banyak sekali pelajaran yang kau berikan padaku di kelas 5 ini. Saya sangat kagum padamu. Kaulah seorang guru teladan, guru yang apa adanya.

Di kelas tertua tingkat SD alias kelas 6, kami dibimbing oleh pak Sudiono. Guru yang kerap hujan lokal ketika berbicara ini juga kerap melucu di kelas (maaf). Dialah yang membimbing kami 21 anak untuk lulus ujian. Dan, akhirnya enam tahun aku sekolah hasil yang kuperoleh cukup memuaskan, jumlah Nilai Ebtanas Murni ku adalah 40,82 dari 5 mata pelajaran.

Ibu Marsini, Ibu Yanti, Pak Kimin, Ibu Endah, Pak Misdi, Pak Sudiono. Terima kasih, tanpa kalian apa jadinya aku, tak bisa baca tulis dan tak bisa mengerti banyak hal. Indah sekali pernah diajar oleh kalian.

Tingkat SMP akhirnya ku jajaki.

Aku masuk ke SMP Negeri 1 Pengadegan. SMP favorit di kecamatanku. Di sana tidak semua guru yang mengesankan, tapi ada guru-guru yang begitu menginspirasi. Pak Tugiyo guru bahasa Indonesia. Engkau lucu, pintar tapi juga jahat karena kau sering menepuk punggungku dengan keras di kelas. Hal yang mengesankan dari engkau adalah ketika setiap pelajaran pasti ada hal-hal yang bisa diplesetkan untuk melucu. Dan yang paling mengesankan adalah ketika kau memberikan selamat padaku atas peringkat 3 paralel untuk Ujian Nasional. Kau menyalamiku ketika aku sedang duduk di depan ruang guru. Tak kusangka, aku pun bisa membuktikan bahwa aku bisa lebih baik dari teman-teman yang sering kalian anggap pandai itu. Inspirasi yang kuperoleh darimu adalah ketegasan yang sangat darimu.

Kemudian Pak Turaharto, guru yang pandai sekali matematika. Ia juga sama seperti pak Tugiyo yaitu suku melucu di kelas. Ada hal yang paling kuingat terjadi padamu adalah ketika anak-anak tidak cocok untuk kau ajar, karena dianggap nilai matematika anak-anak ketika kau ajar rendah. Aku ingat sekali ketika awal-awal masuk kelas 3, kau menyampaikan kepada kami bahwa jika selama kau mengajar itu tidak jelas dan kami tidak cocok. Maka, segeralah untuk minta ganti guru. Tapi itu tidak pernah terjadi. Kau begitu sabar untuk mengulangi lagi penjelasan ketika kami tidak jelas. Inilah yang sangat menginspirasi bahwa kau ikhlas untuk melepaskan anak didiknya ke guru lain ketika kau merasa tak mampu mendidik kami.

Kau pernah berkata bahwa setiap ada PR, sebelum jam pelajaran masuk, kami boleh bertanya kepada siapa pun dan minta di ajarkan oleh siapa pun, guru mana pun. Dan aku ingat kau tidak menyebutkan pengecualian. Alhasil, aku pun setiap ada PR yang belum bisa mengerjakan, setiap sebelum masuk jam pelajaran, kutemuilah engkau untuk kumintai penjelasan terhadap soal yang belum jelas. Kau pernah berkata “lho kok bertanyanya kepada aku, kan nanti aku yang mengoreksi” dan aku menjawab “kan bapak tidak bilang kalau tidak boleh bertanya kepada bapak, jadi bertanya pada bapak ya boleh dong”. “Kalau seperti ini ya sudah pasti betul jawabannya,” tukas beliau. Tentu saja. Dan hal lain yang begitu  membuatku senang adalah ketika  aku terpilih sebagai siswa yang berhak mendapatkan les tambahan matematika darimu. Setiap hari 12 anak dengan nilai matematika tertinggi kau beri soal dan pembahasannya. Akhirnya, kau pun mengantarkanku pada kesuksesan. Nilai matematikaku nyaris benar semua. Aku memiliki nilai matematika 9,67 kala itu. Sebenarnya aku memiliki nilai sempurna jika satu soal tak kuganti jawabannya. Ah bodohnya diriku.

Satu lagi, ibu guru yang sangat mengesankanku adalah Ibu Eni Pujianti, guru Biologi. Dia sangat cerdas, dia yang juga membuatku untuk berminat masuk SMA dan mengincar jurusan IPA. Tapi, itu hanya mimpi saja, orang tua tak merestuiku masuk SMA jika bukan SMA 1 Purbalingga. Kala itu jumlan UAN SMP ku adalah 27,20. Sebenarnya aku masih bisa masuk SMA 1 Purbalingga. Tapi, kerena minder masalah ekonomi, aku yang hanya berkendaraan becak kala itu haru menyingkir dari segolongan mereka yang mengendarai sedan. Akhirnya aku pun masuk SMK N 1 Purbalingga. Di sini, kelasnya ekonomi tidak eksekutif seperti SMA N 1. Alhasil, impianku sebagai ahli Biologi pun gugur. Sudahlah, mungkin aku punya jalan lain. Satu hal, yang cukup kubenci dari guru-guru SMP ini adalah ketika tidak pernah mampir kesempatan untukku mengikuti lomba. Aku yakin aku mampu. Tapi sudahlah, mungkin kalian meragukanku.

SMK Negeri 1 Purbalingga

Sekolah ini mengantarkanku untuk bertemu dengan guru-guru mengesankan, yakni Pak Tutyanto (Toto), Pak Win, Bu Justin, Bu Yuni, Bu Retno, Pak Agung, dan lain-lain.

Pak Toto, terima kasih sangat besar kuucapkan kepadamu, karenamu aku sekarang bisa mengenyam bangku kuliah. Aku ingat sekali ketika kau dulu mendaftarkan kami di Universitas Negeri Yogyakarta. Kaulah yang bolak-balik Purbalingga-Jogja untuk mengurus segalanya. Dan kami hanya menunggu di Purbalingga. Setelah masuk kuliah, baru aku menyadari betapa besar jasamu. Tak kubayangkan ketika kau mengantri untuk verifikasi data-data kami. Padahal, animo siswa untuk kuliah di UNY sangat besar, dan beribu-ribu antrian di sana. Tapi kau pun dengan ikhlas melakukan itu untuk kami. Kau pun tersenyum gembira ketika kuberi tahu bahwa aku lulus ujian masuk, meskipun dengan jalur Nonreguler. Ah, aku tak tahu jalur-jalur masuk sebelumnya. Pak Toto, mungkin jika kau tak mengurusi ini, aku tak bisa menjadi bagian dari keluarga besar UNY. Terima kasih yang sangat kuucapkan.

Pak Win, mungkin kau tak begitu mengenaliku. Aku tidak seperti Faris yang sangat berprestasi di Sekolah. Tapi aku sangat berterima kasih padamu karenamu, aku pernah berdebat dengan dosen statistik terkait dengan rumus statistik yang dosen itu ajarkan. Bagiku, rumus yang kau ajarkanlah yang paling benar. Pak Win, kau begitu cerdas. Kau memberi kami modul dengan bahasa inggris. Orientasi cara mengajarmu begitu besar. Kini aku sudah paham itu. Kau hanya ingin memberi bekal terbaik untuk kami. Terima kasih pak Win, berkat cara mengajarmu itu, nilai matematikaku pun sempurna di angka 10.

Bu Justin, Ibu Retno, Ibu Yuni, Pak Agung. Terima kasih sekali ilmu akuntansi yang kalian ajarkan sangat berguna. Meskipun sampai muntah-muntah pelajaran akuntansi setiap hari dijejalkan, kini aku pun rindu dengan ilmu abstrak itu. Ya, ilmu hitung-hitungan uang yang tak ada wujud uangnya. Aku tak akan melupakan ilmu itu. Bu Justin, Bu Retno, Bu Yuni, Pak Agung taukah kalian awal masuk kuliah aku merasa sebagai Akuntan Nyasar. Aku nyasar di jurusan PKnH. Di pelajaran ini aku tidak punya bekal yang cukup. Pelajaran sejarah tidak diajarkan di SMK, pelajaran sosiologi pun hanya sesaat. Ah, aku terlalu berkutat dengan uang, ini membuatku benar-benar nyasar di awal-awal kuliah. Aku menyesal kenapa tidak masuk Akuntansi. Aku sudah punya bekal yang cukup, mungkin aku malah bisa menjadi ahli akuntansi. Ah., lupakan saja, sekarang aku tak lagi merasa nyasar.

Bapak Ibu Guruku, kalian adalah guru-guruku tersayang……

Kini aku menjadi mahasiswa, di sini banyak dosen-dosen yang pandai-pandai. Dari mereka aku mengerti banyak hal. Pak Halili, pak Cholisin, pak Samsuri, pak Anang, ibu Hartini, ibu Ati, ibu Pratiwi, pak Ekram, ibu yang cantik ibu Iffah, ibu Candra, ibu Puji, ibu Eni, pak Suripno, pak Marzuki, pak Sunarso, pak Nasiwan, pak Suharno dan prof. Ghofur. Kini aku mahasiswa semester VI, bimbinglah aku sebagai sebaik-baiknya sarjana. Aku tak mau menjadi lulusan sarjana yang gagal. Kegagalan itu adalah ketika saya tak bisa memberikan pelajaran yang baik dan mengajari yang baik kepada murid-muridku kelak.

Guru tersayang, guru tercinta, tanpamu apa jadinya aku

Tak bisa baca tulis, mengerti banyak hal

Guruku terima kasihku

Dwiningsih Afriati

Ketika dia datang kembali

aku selalu ingin mencurahkan isi hatiku di blog ini, tapi apa daya aku tak bisa membukanya setiap hari. Hay my blog, i wanna tell u something. Aku pernah menyukai seseorang, dia begitu baik. Tapi kepribadian kami berbeda, kami tak bisa searah (etlis hanya beberapa hal saja). Dia kembali muncul, hal pertama dengan nasehatnya, hal kedua dengan kehadirannya kembali. Dear my blog, kenapa ya, aku nggak bisa berbohong kalo aku pernah punya rasa sama dia. Tapi aku yakin dia tak pernah begitu denganku. Huamm, sekarang aku memiliki orang yang begitu mencintaiku, tapi apa aku benar-benar mencintai dia. Entahlah.., aku sudah terlalu jauh menjalin kasih dengannya. Dan akhirnya aku mencurahkan isi hati ini ke Tuhanku, Tuhan maafkan aku ya, aku sudah banyak noda dan dosa

Sidang Konferensi Mahasiswa

Saya mengikuti Sidang KM (Konferensi Mahasiswa) di Ruang Ki Hajar Dewantara FIS-UNY. Minggu, 4 Desember 2011. Membahas Anggaran Dasar KM FIS. Membahan Kedudukan KM UNY sebagai lembaga tertinggi ataukah lembaga tinggi. Bahwa KM memiliki fungsi Yudikatif, yang seharusnya ditempatkan paling atas.

Sistem pemerintahan yang seperti apa yang akan dijalankan oleh KM UNY. Apakah dengan nama yang berbeda namun kerja samanya sama dengan sistem pemerintahan BEM ReMa. Hanya berganti kostum?

 

Melanie

Namaku Melanie, tapi bukan melanie putria seperti putri Indonesia itu. Dia cantik dan terkenal. Tapi saya Melanie, gadis biasa-biasa saja yang selalu belajar dari embun pagi yang setiap hari kutengok di atas kelopak bunga mawar. Aku suka sekali mawar. Dari mawar aku belajar keindahan. Dari mawar aku belajar menjaga diri agar tetap indah.  Kata orang mawar itu penipu, dia indah tapi menyakitkan karena durinya yang begitu tajam. Tapi bagiku… mawar itu…. cantik.

Itulah catatan singkat yang bisa terbaca dalam halaman pertama buku hariannya. Melanie seorang gadis mungil yang sangat cerdas. Mungkin ia tak secantik teman-teman yang lainnya yang memang menggunakan perawatan salon. Dan rutin. Namun, Melanie gadis biasa yang manis. Manis tanpa perawatan.

Remaja tanggung ini kini tengah menjalani rutinitasnya sebagai pelajar SMA di kota Purbalingga. Kota kecil yang sekarang ini mulai terkenal karena wisata airnya. Owabong. Kota kecil ini juga sering disebut sebagai ‘kota palsu’. Kota yang penuh dengan bangunan pabrik pembuat rambut palsu, bulu  mata palsu, dan serba palsu. 🙂

Melanie menyeringkapkan selimutnya dan membangunkan diri dari ranjang. Ia masih jelas nampak begitu ngantuk. Kedua matanya yang bulat ia kucek-kucek sampai berwarna merah. Dengan terpaksa ia harus bangun karena kewajibannya sehari-hari memanglah berangkat ke sekolah. Semata-mata ia lakukan demi satu cita-cita yang sudah terpatri betul dalam benaknya.

“Tegar, bangun. Kamu ini sudah besar nak, bangun buat sekolah saja susah. Di sekolah kamu ini main-main, bukan kerja nyari duit. Tidak seperti ibu, loncat kesana kemari demi makan kalian.”

Terdengar ibu Rida sedang kesusahan membangunkan anaknya. Ibu Rida adalah seorang wanita berusia 40 an tahun. Ia adalah wanita yang telah melahirkan Melanie, begitu pula Tegar adiknya.

Dalam rumah berukuran 12 x 8 meter inilah keluarga Melanie tinggal. Meski rumah yang ia huni ini kecil, tak pernah sedikitpun Melanie merasa minder ketika banyak teman-temannya main. Apalagi keluarga Melanie tak mampu membuat kamar mandi yang bersih seperti keluarga-keluarga lainnya. Di samping rumahnya hanya ada bak penampungan air yang kecil sebagai tempat mandi dan mencuci dan dengan kakus disampingnya. Tanpa tembok. Hanya bilik berasal dari karung beras Bulog yang digunakan sebagai aling-aling. Kotor dan tidak terawat.

Rumah kecil itu pun indah dihiasi pekarangan yang penuh dengan bunga mawar. Merah, merah muda, kuning, dan putih. Letak pekarangan mawar itu tepat sekali disamping kamar Melanie, sehingga tiap hari ketika membuka jendela yang ia lihat pertama kali adalah mawar. Kotornya kamar mandi di rumah itupun bisa ditebus dengan pekarangan indah seluas 3×4 meter ini.

****

Sebagai anak sulung Melanie mempunyai tanggung jawab penuh atas apa saja yang kelak akan terjadi pada keluarganya. Entah itu hal baik ataupun hal buruk. Setiap pagi sepeda mini classic ia kayuh ke sekolah dan juga mengantarkan adiknya ke Sekolah Dasar. Tak pernah ia mengeluh meski ia harus mengayuh sejauh 10 kilo meter ke sekolah. Dan tak juga ia iri melihat teman-teman sebayanya enak mengendarai sepeda motor. Satu pelajaran yang ia dapatkan dari ibunya adalah hidup itu tidak akan ada ujungnya kalau hanya untuk bersikap iri. Kalimat itu sudah menjadi falsafah dalam hidupnya dan ia pegang betul.

(bersambung lagi ya..)

Anatomi Budaya Bisnis Cina

Krisis moneter dan keuangan yang melanda kawasan Asia pada tahun 1997-1998 telah mengobrak-abrik perekonomian beberapa negara, termasuk Indonesia. Akan tetapi, nasib Cina (RRC) ternyata begitu baik. Pengaruh krisis moneter dan keuangan tersebut tidak terlalu terasa di sana. Hal ini terjadi, menurut laporan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), karena fundamental ekonomi di Cina sudah cukup kokoh dan kebijakan program reformasi Cina sudah berada pada jalur yang benar.

Terhitung sejak tahun 1978, pertumbuhan ekonomi di Cina memang begitu pesat, sehingga cadangan devisa negara Cina pada tahun 1997 mencapai 140 milyar dolar AS, nomor dua terbesar sesudah Jepang. Kebijakan reformasi yang dilakukan oleh mendiang Deng Xiao Ping telah mampu mendobrak kebekuan pasar di Cina. Selain mencapai pertumbuhan ekonomi yang terus stabil, arus investasi dari luar juga begitu besar. Bahkan, menurut laporan PBB, arus investasi asing di Cina menempati urutan terbesar kedua sesudah Amerika Serikat.

Situasi ekonomi yang menggairahkan dan stabil serta penduduk yang cukup besar, yakni 1,2 milyar, membuat Cina menyediakan peluang bisnis yang begitu menggiurkan. Karena itu, tak berlebihan bila Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew, memperkirakan perekonomian Cina akan lebih besar dibanding Jepang dalam 50 tahun mendatang.

Akan tetapi kondisi sosial-budaya yang khas yang terdapat di Cina ternyata tidak semata-mata menjadi peluang bisnis yang begitu saja memudahkan arus investasi, melainkan juga menuntut suatu pengetahuan yang cukup tentang anatomi budaya bisnis di Cina. Risiko dan tantangan berbisnis di Cina juga cukup besar. Karena itulah, wawasan tentang karakteristik kehidupan bisnis di Cina sangat dibutuhkan.

Buku bagus ini menyediakan ulasan praktis, ringkas, dan jelas tentang struktur sosial-budaya kehidupan bisnis di Cina. Kompleksitas sosio-kultural yang berada di balik aktivitas bisnis diungkapkan secara cukup baik. Buku ini tidak semata-mata terjebak dengan gegabah dalam menjelaskan budaya bisnis Cina yang kompleks hanya dengan memberi penjelasan berdasarkan tradisi (Cina). Buku ini memandang bisnis sebagai ekspresi kehidupan yang dinamis, mengikuti arus dinamika budaya di sana.

Sebelum tahun 1978, aktivitas bisnis bagi masyarakat Cina tidak terlalu dihargai. Pedagang dianggap manusia hina yang licik dan culas serta hanya mengenal keuntungan. Lebih dari itu, pedagang juga dianggap orang yang mudah merongrong stabilitas sosial. Pandangan tertutup semacam ini tumbuh subur karena sejak tahun 1840 Cina menerapkan politik isolasi dalam bidang perdagangan dan budaya.

Baru setelah Deng Xiao Ping menerapkan kebijakan “Liberalisasi Pemikiran” dan Politik Pintu Terbuka sebagai respon terhadap arus globalisasi pada tahun 1978, demam bisnis menjadi kecenderungan yang sangat umum. Bisnis yang menguntungkan dilihat sebagai sarana untuk menjamin penggunaan kekayaan alam dan manusia secara efisien, sementara bisnis yang tidak produktif dianggap sebagai suatu pemborosan.

Kemajuan laju ekonomi Cina didukung oleh semangat kolektif masyarakat yang berwujud kebanggaan nasional dan didasarkan atas kesadaran sejarah bangsa Cina. Spirit kolektivisme ini terus berlanjut dalam setiap aktivitas bisnis di Cina, sehingga hubungan antar-pribadi dalam kegiatan bisnis begitu diperhatikan.

Selain nilai kolektivisme, nilai-nilai lain yang terdapat dalam budaya bisnis Cina adalah pentingnya menjaga kehormatan, adanya hierarki, hormat kepada tradisi, dan prinsip egalitarianisme. Bisnis di Cina amat menekankan kesetiaan, rasa hormat, kepatuhan, dan kepercayaan. Pembentukan jaringan bisnis diciptakan dengan membangun jaringan pertemanan seluas mungkin. Jamuan makan dan pemberian hadiah yang menjadi simbol persahabatan seringkali dilakukan dalam aktivitas berbisnis. Perundingan bisnis atau negosiasi yang kadang dilakukan dalam acara jamuan makan juga digunakan sebagai sarana penjajakan untuk memantapkan kecocokan dan rasa saling percaya.

Karena menekankan kepada hubungan yang bersifat pribadional, maka dalam perundingan dibutuhkan kesabaran yang cukup bila mitra bisnis masih berbicara tentang suatu persoalan secara bertele-tele. Hal semacam ini dilakukan untuk menghimpun informasi sebanyak mungkin tentang sosok kepribadian klien bisnisnya. Selain itu, harus juga diperhatikan agar kedua belah pihak menyisakan ruang untuk kompromi atau konsesi, karena proses tawar-menawar adalah sesuatu yang mesti dilakukan oleh orang-orang Cina. Klien bisnis yang tidak mau melakukan bargaining hanya akan memberi kesan tidak serius dengan negosiasi yang sedang dilangsungkan. Juga, sikap pamer diri menjadi sesuatu yang tabu dalam kegiatan bisnis.

Konsumen bisnis di Cina masih terpengaruh dengan boom demam bisnis yang berlangsung sejak tahun 1978. Secara psikologis, perilaku konsumsi orang Cina kebanyakan dipengaruhi oleh sejumlah kelompok rujukan. Popularitas sebuah produk sering terbentuk karena kuatnya hubungan antar-pribadi yang menggunakan produk itu. Kegiatan yang bersifat “pamer” juga sering dilakukan. Meski begitu, rata-rata mereka masih berpikir seribu kali bila harus berhutang dalam berbelanja. Mereka lebih memilih menabung terlebih dahulu untuk memenuhi keinginan mereka.

Begitulah gambaran ringkas anatomi budaya bisnis di Cina. Untuk berjaga-jaga, ada enam jurus yang patut diperhatikan agar dapat sukses berbisnis di Cina, yaitu patience (kesabaran), power (kekuasaan), predisposition (predisposisi), personnel (personalia), protection (proteksi), dan perspective (perspektif). Kesabaran dibutuhkan karena berbisnis di Cina memerlukan landasan usaha yang kuat. Kekuasaan berkaitan dengan kemampuan penguasaha menyediakan modal yang kuat, termasuk untuk mengembangkan jaringan pertemanan dalam berbisnis. Predisposisi adalah kemampuan untuk membina hubungan personal yang baik dengan mitra bisnis. Personalia berkaitan dengan strategi pemilihan orang yang tepat dalam menjalankan bisnis. Proteksi penting untuk melindungi kegiatan bisnis dari kecenderungan melintasi batas-batas hukum legal yang berlaku. Dan, terakhir, perspektif, berguna untuk mempertinggi kepekaan pelaku bisnis terhadap realitas kultural masyarakat Cina.

Buku ini tidak berbicara terlalu muluk-muluk. Secara umum, usahanya untuk membedah anatomi budaya bisnis masyarakat Cina cukup baik, karena menyentuh berbagai aspek: sejarah, landasan nilai, gaya berunding, manajemen, peran pemerintah, psikologi konsumen, serta strategi promosi dan distribusi. Ketiga penulis buku ini memang sudah dikenal luas sebagai pakar bisnis yang mengetahui latar kebudayaan masyarakat Cina secara mendalam.

Bagi orang-orang yang tertarik untuk menembus pasar Cina yang begitu menggiurkan, atau yang berhubungan dengan komunitas Cina, buku ini tentu akan memberikan sesuatu yang cukup berharga, setidaknya bila mereka memang ingin mencapai kemajuan yang lebih baik dalam berbisnis.